Perjalanan Mengesankan Saat Berkunjung ke Batu Sawan
Pecinta Budaya BATAK–– Sudah beberapa kali saya melakukan perjalanan ke kawasan Gunung Pusuk Buhit. Namun, yang namanya berkunjung ke Batu Sawan, baru beberapa waktu lalu kesampaian, dan itu pengalaman yang amat berkesan
Bukan hanya saya. Barangkali, masih banyak pengunjung ke kawasan ini tidak sampai mendatangi Batu Sawan. Jika situs wisata lainnya seperti Aek Sipitudai, Batu Hobon, tugu Guru Tatea Bulan, dan yang lainnya gampang ditempuh dengan kendaraan roda dua atau empat, maka beda dengan Batu Sawan, letaknya memang lebih jauh, terselip di celah lipatan kontur gunung, dan separoh jalan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Biasanya, mereka yang datang ke Batu Sawan adalah untuk melakukan ritual, atau meminta berkah dan kesembuhan dari beragam penyakit.
Batu Sawan terletak di lambung sebelah barat daya Gunung Pusuk Buhit. Pintu masuknya berada di Dusun Sarimarrihit. Jalan mendaki dan berliku kurang lebih 2 kilometer, sebagian masih jalan makadam, menghubungkan saya dengan Dusun Parik Sabungan. Jalan itu sempit, hanya bisa dilalui kendaraan roda empat ukuran minibus dan truk engkel. Tidak terbayangkan apa yang terjadi apabila ada kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan.
Perjalanan dengan kendaraan harus berakhir Di Huta Parik Sabungan. Meski disebut huta atau kampung jangan membayangkan bahwa Huta Parik Sabungan merupakan perkampungan sebagaimana lazimnya sebab hanya terdapat dua rumah dempet di sini, salah satunya adalah kedai atau warung kecil. Nama Huta Parik Sabungan melekat sebagai peninggalan sejarah. Di sinilah Guru Tatea Bulan, anak pertama Siraja Batak bermukim. Dalam literatur Batak, Huta Parik Sabungan disebut sebagai salah satu perkampungan leluhur Batak selain Sianjurmulamula dan Huta Sijambur.
Suasana mistis masa purba dapat saya rasakan di Huta Parik Sabungan. Beberapa bongkahan batu padas raksasa yang masih memiliki kaitan sejarah dengan ritual Guru Tatea Bulan dan keturunannya amat menyita perhatian di Huta Parik Sabungan. Suasana semakin mistis menyaksikan tugu berbentuk manusia di atas batu-batu raksasa itu, namanya Batu Simarlage-lage dan Batu Habonaran. Batu lainnya, yang sejenis masih dapat ditemukan di kawasan ini yaitu Batu Sondi, Batu Gordang, dan Batu Tuttung.
Semua anak Guru Tatea Bulan lahir di Huta Parik Sabungan. Mereka terdiri dari 5 putra dan 5 putri. Anak laki-laki terdiri dari Raja Uti, Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Silau Raja, sedangkan anak perempuan terdiri dari Sibiding Laut, Siboru Pareme, Sianting Haumasan, Sipungga Haumasan, dan Nantinjo.
Raja Uti melekat pada legenda Batu Sawan. Konon, sebagaimana dituturkan secara lisan dalam tambo Batak, Raja Uti terlahir dalam kondisi fisik tidak lazim. Ia cacat tanpa kaki dan tangan serta sangat buruk rupa. Atas kondisinya itu, Raja Uti lebih banyakmengasingkan diri (ada yang menyebut diasingkan) di sebuah gua dan menjadikan Batu Sawan tempat mandi, minum, dan menjalankan ritual. Ia dikenal sangat sakti, kesaktian yang membuatnya dianggap tidak pernah mati dan mampu berubah dalam tujuh wujud berbeda. Raja Uti juga memiliki nama lain yaitu Raja Biakbiak dan Raja Gumelenggeleng.
Batu Sawan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan setapak sepanjang 700 meter dari Huta Parik Sabungan. Sebagian jalan sudah rabat beton. Jalan yang hanya selebar satu meter itu terjal mendaki dan berliku sebagian memiliki kemiringan yang ekstrem. Padang ilalang dan belukar berwarna kuning kehijauan terhampar sejauh mata memandang. Pohon pinus tumbuh acak dengan batang yang ramping. Bebatuan berwarna hitam kecoklatan memberi warna kontras pada hamparan itu. Tandus. Namun pada sebagian ceruk ahannya tampak subur dan ditanami kopi.
Rasa capai dan lelah tiba-tiba sirna saat tiba di kawasan Batu Sawan. Saya sebelumnya tidak punya informasi yang lengkap mengenai Batu Sawan. Ternyata ada air terjun kecil yang mengalir dari puncak, melewati tebing batu lalu tertampung di sebuah batu besar berbentuk cawan sebelum mengalir kembali ke dataran yang lebih rendah (itulah sebabnya disebut Batu Sawan atau Batu Cawan). Diameter cawan batu itu sekitar 3 meter dan kurang lebih 2 meter kedalamanya pada dasar terdalam. Air itu sangat jernih dan volumenya bervariasi sesuai musim. Yang cukup mencengangkan, siapa pun yang merasakan, rasa air itu tidak tawar layaknya air biasa, melainkan seperti air yang diberi perasan unte mungkur/anggir atau jeruk purut.
Dalam pikiran saya, cawan batu itu tentulah terbentuk akibat air terjun yang mengalir terus menerus sepanjang masa pada masa yang sangat sangat lama. Namun, tiba pada soal rasa air yang tak lazim itu, bagi sesiapapun sulit menampiknya sebagai sebuah misteri.
Batu Sawan kerap digunakan sebagai tempat ritual khususnya oleh para sandaran (titisan para leluhur) untuk kegunaan pengobatan dan permohonan berkah. Pemerintah Kabupaten Samosir menyediakan sarana ritual berupa meja batu marmer serupa altar tak jauh dari Batu Sawan. Untuk melepas lelah juga tersedia pendopo terbuka dari beton bergaya rumah tradisional Batak.
Selain melaksanakan ritual, banyak pengunjung yang datang ke Batu Sawan khusus untuk mengambil airnya untuk diminum serta mandi karena dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Air untuk diminum diambil langsung dari Batu Sawan sedangkan untuk mandi hanya diperkenankan di pemandian khusus yang dibangun di bawah Batu Sawan.
Tak jauh dari Batu Cawan terdapat sebuah goa kecil pada lambung yang lebih tinggi. Panjang atau kedalamannya hanya beberapa meter. Uniknya, goa itu terbentuk dari susunan beberapa bongkahan batu pada dasar, dinding, dan atap. Bentuk dan susunannya seperti dibuat oleh manusia, dan siapa pun itu tentulah seseorang yang sangat kuat dan sakti. Goa itu dikeramatkan sebagai tempat tinggal atau tempat Raja Uti bersemedi. Sebagai pertanda, di dekat goa ditancapkan bendera berwarna merah, putih, dan hitam (warna khas kosmologi Batak).
Kawasan Batu Sawan bagi saya sangat menawan. Selain menikmati keeksotisan situs para leluhur, dari tempat ini mata saya sangat dimanjakan panorama alam sekitar, lereng sepanjang celah, termasuk sebagian lembah vulkanik Limbong yang subur.
Sayang, meski dianggap suci dan sakral masih banyak pengunjung yang membuang sampah sembarangan, terutama kantong plastik, bungkus shampo, dan bekas botol minuman mineral. Saat kembali ke Huta Parik Sabungan, saya dan rombongan dimintai sumbangan suka rela oleh seorang ibu. Sang ibu tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya, bahkan mengembalikan sumbangan kami, entah kenapa, mungkin dianggap kurang memadai.
sumber : batakindonesia.com